MAKALAH MATA KULIAH
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
TEMA
KONSEP
KETUHANAN DALAM ISLAM
Disusun
untuk Memenuhi Salah Satu Tugas
Mata
Kuliah Pendidikan Agama Islam (PAI)
Disusun Oleh :
1.
Arif
Widiyanto ( 32 11 1002 )
2.
Basuki
Rahmat ( 32 11 1018 )
Teknik Informatika C
Semester I
POLITEKNIK
SAWUNGALIH AJI
PURWOREJO
2011
Dengan
menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, segala puji hanya
bagiNya. Semoga sholawat beserta salam senantiasa tercurahkan kepada junjungan
kita, nabi besar Muhammad SAW beserta keluarga dan para sahabatnya, dan juga
kepada para pengikutnya yang setia hingga akhir zaman.
Puji syukur Alhamdulilah kami panjatkan kehadirat
Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan segala rahmat,hidayah,inayah-Nya.Sehingga
penulisan makalah ini dapat diselesaikan dengan baik dan lancar.
Makalah dengan judul “KONSEP KETUHANAN DALAM ISLAM” sebagai
tugas mata kuliah Agama.
Dalam penulisan makalah ini kami
bayak menerima bantuan bimbingan dan dorongan dari berbagai pihak.Pada
kesempatan ini ,kami tidak lupa mngucapkan terima kasih yang sedalam- dalamnnya
kepada:
1.
Bapak
H.Mulyadi selaku direktur Politeknik Sawunggalih Aji Purworejo.
2.
Bapak
Nasrudin selaku guru mata kuliah agama.
3.
Orang
tua kami yang telah memberikan bantuan materiil dan spirtual.
4.
Teman-teman
kami di Politeknik Sawunggalih Aji Purworejo umumnya dan kelas TIC khususnya
atas segala bantuannya.
Penulis berharap makalah ini
dapat memberikan manfaat bagi mahasiswa Politeknik Sawunggalih Aji Purworejo khususnya
kelas TI C. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari
sempurna, karena masih banyak kekurangan dan kesalahan. Maka penulis menerima
kritik dan saran yang bersifat membangun untuk meyempurnakan makalah ini.
Dengan makalah ini, penulis
mengharapkan semoga makalah ini dapat bermanfaat dan berguna bagi penulis serta
pembaca pada umumnya.
Purworejo,
03 November 2011
Pembicaraan tentang Tuhan merupakan
pembicaraan yang menyedot pemikiran manusia sejak jaman dahulu kala. Manusia
senantiasa bertanya tentang siapa di balik adanya alam semesta ini. Apakah alam
semesta terjadi dengan sendirinya ataukah ada kekuatan lain yang mengatur alam
semesta ini. Bertitik-tolak dari keinginan manusia untuk mengetahui keberadaan
alam semesta ini, maka manusia mencoba mengkajinya sesuai dengan kemampuan akal
yang dimilikinya. Hasil dari kajian-kajian yang dilakukan, manusia sejak jaman
primitif sudah mempercayai adanya kekuatan lain di luar diri manusia yang
disebut dengan Tuhan.
Namun, kepercayaan kepada
adanya Tuhan berbeda-beda. Hal ini disebabkan karena perbedaan tingkat
kemampuan akal manusia. Menurut Ibnu Thufail yang menulis kisah novel Hayy bin
Yaqdzan mengatakan bahwa manusia dengan akalnya mampu mempercayai adanya
Tuhan.1 Demikian juga para pemikir dari semua aliran teologi dalam Islam
seperti Mu’tazilah, Asy’ariyah, Maturidiyah Bukhara dan Samarkand berpendapat
bahwa mengetahui Tuhan dapat diketahui melalui akal.2
Mengingat kepercayaan
terhadap Tuhan berbeda-beda, lantas apakah semua Tuhan yang dipercayai oleh
manusia merupakan Tuhan yang Haq (benar), dan bagaimana cara mengetahui Tuhan
yang Haq (benar) tersebut? Tulisan ini akan menjelaskan tentang Tuhan yang Haq
(benar) dalam perspektif Islam, dan menguji Tuhan-Tuhan yang ada dalam
kepercayaan manusia di luar Islam.
Berdasarkan latar belakang di atas, terkait dengan pembahasan KONSEP
KETUHANAN DALAM
ISLAM, maka masalah yang timbul dirumuskan berikut ini.
- Tuhan menurut ajaran Islam,
- Keimanan dan Implikasi Tauhid dalam Islam,
- Ketaqwaan dan Implikasinya dalam kehidupan.
Tujuan dari penulisan makalah ini yaitu untuk mengetahui:
- Tuhan menurut ajaran Islam,
- Keimanan dan Implikasi Tauhid dalam Islam,
- Ketaqwaan dan Implikasinya dalam kehidupan
Perkataan ilah,
yang diterjemahkan “Tuhan”, dalam Al-Quran dipakai untuk menyatakan berbagai
obyek yang dibesarkan atau dipentingkan manusia, misalnya dalam QS 45
(Al-Jatsiiyah): 23, yaitu:
“Maka pernahkah kamu melihat orang
yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya….?”
Dalam QS 28 (Al-Qashash):38, perkataan ilah dipakai oleh Fir’aun untuk
dirinya sendiri:
“Dan Fir’aun berkata: Wahai pembesar
kaumku, aku tidak mengetahui tuhan bagimu selain aku.”
Contoh ayat-ayat tersebut di atas menunjukkan bahwa
perkataan ilah bisa mengandung arti berbagai
benda, baik abstrak (nafsu atau keinginan pribadi maupun benda nyata (Fir’aun
atau penguasa yang dipatuhi dan dipuja). Perkataanilah dalam Al-Quran juga dipakai
dalam bentuk tunggal (mufrad: ilaahun), ganda (mutsanna:ilaahaini),
dan banyak (jama’: aalihatun). Bertuhan nol atau atheisme tidak
mungkin. Untuk dapat mengerti dengan definisi Tuhan atau Ilah yang tepat, berdasarkan logika
Al-Quran sebagai berikut:
Tuhan (ilah) ialah sesuatu yang
dipentingkan (dianggap penting) oleh manusia sedemikian rupa, sehingga manusia
merelakan dirinya dikuasai oleh-Nya.
Perkataan dipentingkan hendaklah diartikan secara luas.
Tercakup di dalamnya yang dipuja, dicintai, diagungkan, diharap-harapkan dapat
memberikan kemaslahatan atau kegembiraan, dan termasuk pula sesuatu yang
ditakuti akan mendatangkan bahaya atau kerugian.
Ibnu Taimiyah memberikan definisi al-ilah sebagai berikut:
Al-ilah ialah: yang dipuja dengan
penuh kecintaan hati, tunduk kepada-Nya, merendahkan diri di hadapannya, takut,
dan mengharapkannya, kepadanya tempat berpasrah ketika berada dalam kesulitan,
berdoa, dan bertawakal kepadanya untuk kemaslahatan diri, meminta perlindungan
dari padanya, dan menimbulkan ketenangan di saat mengingatnya dan terpaut cinta
kepadanya (M.Imaduddin, 1989:56)
Atas dasar definisi ini, Tuhan itu bisa berbentuk apa
saja, yang dipentingkan manusia. Yang pasti, manusia tidak mungkin ateis, tidak
mungkin tidak ber-Tuhan. Berdasarkan logika Al-Quran, setiap manusia pasti ada
sesuatu yang dipertuhankannya. Dengan begitu, orang-orang komunis pada
hakikatnya ber-Tuhan juga. Adapun Tuhan mereka ialah ideologi atau angan-angan
(utopia) mereka.
Dalam ajaran Islam diajarkan
kalimat “la ilaaha illa Allah”. Susunan kalimat tersebut dimulai dengan
peniadaan, yaitu “tidak ada Tuhan”, kemudian baru diikuti dengan penegasan
“melainkan Allah”. Hal itu berarti bahwa seorang muslim harus membersihkan diri
dari segala macam Tuhan terlebih dahulu, sehingga yang ada dalam hatinya hanya
ada satu Tuhan, yaitu Allah.
Yang dimaksud konsep Ketuhanan menurut pemikiran manusia adalah konsep
yang didasarkan atas hasil pemikiran baik melalui pengalaman lahiriah maupun
batiniah, baik yang bersifat penelitian rasional maupun pengalaman batin. Dalam
literatur sejarah agama, dikenal teori evolusionisme, yaitu teori yang menyatakan
adanya proses dari kepercayaan yang amat sederhana, lama kelamaan meningkat
menjadi sempurna. Teori tersebut mula-mula dikemukakan oleh Max Muller,
kemudian dikemukakan oleh EB Taylor, Robertson Smith, Lubbock dan Javens.
Proses perkembangan pemikiran tentang Tuhan menurut teori evolusionisme adalah
sebagai berikut:
·
Dinamisme
Menurut paham ini, manusia sejak zaman primitif telah mengakui adanya
kekuatan yang berpengaruh dalam kehidupan. Mula-mula sesuatu yang berpengaruh
tersebut ditujukan pada benda. Setiap benda mempunyai pengaruh pada manusia,
ada yang berpengaruh positif dan ada pula yang berpengaruh negatif. Kekuatan
yang ada pada benda disebut dengan nama yang berbeda-beda, seperti mana (Melanesia), tuah (Melayu),
dan syakti (India). Mana adalah kekuatan gaib yang tidak dapat
dilihat atau diindera dengan pancaindera. Oleh karena itu dianggap sebagai
sesuatu yang misterius. Meskipun nama tidak dapat diindera, tetapi ia dapat
dirasakan pengaruhnya.
·
Animisme
Masyarakat primitif pun mempercayai adanya peran roh dalam hidupnya.
Setiap benda yang dianggap benda baik, mempunyai roh. Oleh masyarakat primitif,
roh dipercayai sebagai sesuatu yang aktif sekalipun bendanya telah mati. Oleh
karena itu, roh dianggap sebagai sesuatu yang selalu hidup, mempunyai rasa
senang, rasa tidak senang apabila kebutuhannya dipenuhi. Menurut kepercayaan
ini, agar manusia tidak terkena efek negatif dari roh-roh tersebut, manusia
harus menyediakan kebutuhan roh. Saji-sajian yang sesuai dengan saran dukun
adalah salah satu usaha untuk memenuhi kebutuhan roh.
·
Politeisme
Kepercayaan dinamisme dan animisme lama-lama tidak memberikan kepuasan,
karena terlalu banyak yang menjadi sanjungan dan pujaan. Roh yang lebih dari
yang lain kemudian disebut dewa. Dewa mempunyai tugas dan kekuasaan tertentu
sesuai dengan bidangnya. Ada dewa yang bertanggung jawab terhadap cahaya, ada
yangmembidangi masalah air, ada yang membidangi angin dan lain sebagainya.
·
Henoteisme
Politeisme tidak memberikan kepuasan terutama terhadap kaum
cendekiawan. Oleh karena itu dari dewa-dewa yang diakui diadakan seleksi,
karena tidak mungkin mempunyai kekuatan yang sama. Lama-kelamaan kepercayaan
manusia meningkat menjadi lebih definitif (tertentu). Satu bangsa hanya
mengakui satu dewa yang disebut dengan Tuhan, namun manusia masih mengakui
Tuhan (Ilah) bangsa lain. Kepercayaan satu Tuhan untuk satu bangsa disebut dengan
henoteisme (Tuhan Tingkat Nasional).
·
Monoteisme
Kepercayaan dalam bentuk henoteisme melangkah menjadi monoteisme. Dalam
monoteisme hanya mengakui satu Tuhan untuk seluruh bangsa dan bersifat
internasional. Bentuk monoteisme ditinjau dari filsafat Ketuhanan terbagi dalam
tiga paham, yaitu: deisme, panteisme, dan teisme.
a) Deisme yaitu
suatu paham yang berpendapat bahwa Tuhan sebagai pencipta alam berada di luar
alam. Tuhan menciptakan alam dengan sempurna dank arena telah sempurna, maka
alam bergerak menurut hokum alam. Antara alam dengan Tuhan sebagai penciptanya
tidak tidak lagi mempunyai kontak. Ajaran Tuhan yang dikenal dengan wahyu tidak
lagi diperlukan manusia. Dengan akal manusia mampu menanggulangi kesulitan
hidupnya.
b) Panteisme berpendapat
bahwa Tuhan sebagai pencipta alam ada bersama alam. Di mana adal alam di situ
ada Tuhan. Alam sebagai ciptaan Tuhan merupakan bagian daripada-Nya. Tuhan ada di
mana-mana, bahkan setiap bagian dari alam adalah Tuhan.
c) Teisme (eklektisme) berpendapat
bahwa Tuhan Yang Maha Esa sebagai pencipta alam berada di luar alam. Tuhan
tidak bersama alam dan Tuhan tidak ada di alam. Namun Tuhan selalu dekat dengan
alam. Tuhan mempunyai peranan terhadap alam sebagai ciptaan-Nya. Tuhan adalah
pengatur alam. Tak sedikit pun peredaran alam terlepas dari control-Nya. Alam
tidak bergerak menurut hokum alam, tetapi gerak alam diatur oleh Tuhan.
Evolusionisme dalam kepercayaan terhadap Tuhan sebagaimana dinyatakan
oleh Max Muller dan EB. Taylor (1877), ditentang oleh Andrew Lang (1898) yang
menekankan adanya monoteisme dalam masyarakat primitif. Dia mengemukakan bahwa
orang-orang yang berbudaya rendah juga sama monoteismenya dengan orang-orang
Kristen. Mereka mempunyai kepercayaan pada wujud yang Agung dan sifat-sifat
yang khas terhadap Tuhan mereka, yang tidak mereka berikan kepada wujud yang
lain.
Dengan lahirnya pendapat Andrew Lang, maka berangsur-angsur golongan
evolusionisme menjadi reda dan sebaliknya sarjana-sarjana agama terutama di
Eropa Barat mulai menantang evolusionisme dan memperkenalkan teori baru untuk
memahami sejarah agama. Mereka menyatakan bahwa ide tentang Tuhan tidak datang
secara evolusi, tetapi dengan relevansi atau wahyu. Kesimpulan tersebut diambil
berdasarkan pada penyelidikan bermacam-macam kepercayaan yang dimiliki oleh
kebanyakan masyarakat primitif. Dalam penyelidikan didapatkan bukti-bukti bahwa
asal-usul kepercayaan masyarakat primitif adalah monoteisme dan monoteisme
adalah berasal dari ajaran wahyu Tuhan (Zaglul Yusuf, 1993:26-27).
Pemikiran
terhadap Tuhan yang melahirkan ilmu Tauhid, Ilmu Kalam, atau Ilmu Ushuluddin di
kalangan umat Islam, timbul sejak wafatnya Nabi Muhammad SAW. Secara garis
besar, ada aliran yang bersifat liberal, tradisional, dan ada pula yang
bersifat di antara keduanya. Ketiga corak pemikiran ini telah mewarnai sejarah
pemikiran ilmu ketuhanan dalam Islam.
Satu hal
yang perlu diingat, bahwa masih-masing menggunakan akal pikiran atau logika
dalam mempertahankan pendapat mereka. Hal ini perlu ditekankan, sebab satu hal
pokok yang menyebabkan kemunduran umat Islam ialah kurangnya penggunaan
kemampuan akal pikirannya dalam mengkaji nilai-nilai yang menurut pemikiran
manusia atau nilai yang murni bersumber dari ajaran Islam yakni al-Qur’an dan
Sunnah Rasul. Di antara aliran pemikiran tentang Tuhan adalah :
1.
Aliran Mu’tazilah yang merupakan
kum rasionalis di kalangan muslim, serta menekankan pemakaian akal pikiran dalam
memahami semua ajarandan keimanan dalam Islam. Orang Islam yang berbuat dosa
besar, tidak kafir dan tidak mukmin. Ia berada di antara posisi mukmin dan
kafir (manzilah bainal
manzilatain).
Dalam menganalisis ketuhanan,
mereka memakai bantuan ilmu logika Yunani, satu sistem teologi untuk
mempertahankan kedudukan keimanan. Hasil dari paham Mu’tazilah yang bercorak
rasional ialah muncul abad kemajuan ilmu pengetahuan dalam Islam. Namun
kemajuan ilmu pengetahuan akhirnya menurun dengan kalahnya mereka dalam perselisihan
dengan kaum Islam ortodoks. Mu’tazilah lahir sebagai pecahan dari kelompok
Qadariah, sedang Qadariah adalah pecahan dari Khawariji.
2.
Qadariah yang berpendapat bahwa
manusia mempunyai kebebasan dalam berkehendak atau berbuat. Manusia sendiri yang
menghendaki apakah ia akan kafir atau mukmin dan hal itu yang menyebabkan
manusia harus bertanggungjawab atas perbuatannya.
3.
Berbeda dengan Qadariah, kelompok
Jabariah yang merupakan pecahan dari Murji’ah berteori bahwa manusia tidak
mempunyai kemerdekaan dalam berkehendak dan berbuat. Semua tingkah laku manusia
ditentukan dan dipaksa oleh Tuhan.
4.
Kelompok yang tidak sependapat
dengan Mu’tazilah mendirikan kelompok sendiri, yakni kelompok Asy’ariyah dan
Maturidiniayah yang pendapatnya berada di antara Qadariah dan Jabariah.
Semua aliran itu mewarnai kehidupan pemikiran
ketuhanan dalam kalangan umat islam periode masa lalu. Pada prinsipnya
aliran-aliran tersebut di atas tidak bertentangan dengan ajaran dasar Islam.
Oleh karena itu umat Islam yang memilih aliran mana saja diantara aliran-aliran
tersebut sebagai teologi mana yang dianutnya, tidak menyebabkan ia keluar dari
islam. Menghadapi situasi dan perkembangan ilmu pengetahuan sekarang ini, umat
Islam perlu mengadakan koreksi ilmu berlandaskan al-Quran dan Sunnah Rasul,
tanpa dipengaruhi oleh kepentingan politik tertentu.
Pengkajian manusia tentang Tuhan, yang hanya
didasarkan atas pengamatan dan pengalaman serta pemikiran manusia, tidak akan
pernah benar. Sebab Tuhan merupakan sesuatu yang ghaib, sehingga informasi
tentang Tuhan yang hanya berasal dari manusia biarpun dinyatakan sebagai hasil
renungan maupun pemikiran rasional, tidak akan benar.
Informasi tentang asal-usul kepercayaan
terhadap Tuhan antara lain tertera dalam:
QS 21 (Al-Anbiya): 92, “Sesungguhnya agama
yang diturunkan Allah adalah satu, yaitu agama Tauhid. Oleh karena itu
seharusnya manusia menganut satu agama, tetapi mereka telah berpecah belah.
Mereka akan kembali kepada Allah dan Allah akan menghakimi mereka.
Ayat tersebut di atas memberi petunjuk kepada
manusia bahwa sebenarnya tidak ada perbedaan konsep tentang ajaran
ketuhanan sejak zaman dahulu hingga sekarang. Melalui Rasul-rasul-Nya, Allah
memperkenalkan dirinya melalui ajaran-Nya, yang dibawa para Rasul, Adam sebagai
Rasul pertama dan Muhammad sebagai terakhir.
Jika terjadi perbedaan-perbedaan ajaran
tentang ketuhanan di antara agama-agama adalah karena perbuatan manusia. Ajaran
yang tidak sama dengan konsep ajaran aslinya, merupakan manipulasi dan kebohongan
manusia yang teramat besar.
QS 5 (Al-Maidah):72, “Al-Masih berkata: “Hai
Bani Israil sembahlah Allah Tuhaku dan Tuhanmu. Sesungguhnya orang yang
mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti mengharamkan kepadanya
syurga, dan tempat mereka adalah neraka.
QS 112 (Al-Ikhlas): 1-4, “Katakanlah, Dia-lah
Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung pada-Nya segala
sesuatu. Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan dan tidak ada seorangpun
yang setara dengan Dia.”
Dari ungkapan ayat-ayat tersebut, jelas bahwa
Tuhan adalah Allah. Kata Allah adalah nama isim
jumid atau personal name. Merupakan suatu pendapat yang keliru,
jika nama Allah diterjemahkan dengan kata “Tuhan”, karena dianggap
sebagai isim musytaq.
Tuhan yang haq dalam konsep al-Quran adalah
Allah. Hal ini dinyatakan antara lain dalam surat Ali Imran ayat 62, surat Shad
35 dan 65, surat Muhammad ayat 19. Dalam al-quran diberitahukan pula bahwa
ajaran tentang Tuhan yang diberikan kepada Nabi sebelum Muhammad adalah Tuhan
Allah juga. Perhatikan antara lain surat Hud ayat 84 dan surat al-Maidah ayat
72. Tuhan Allah adalah esa sebagaimana dinyatakan dalam surat al-Ankabut ayat
46, Thaha ayat 98, dan Shad ayat 4.
Dengan mengemukakan alasan-alasan tersebut di
atas, maka menurut informasi al-Quran, sebutan yang benar bagi Tuhan yang
benar-benar Tuhan adalah sebutan “Allah”, dan kemahaesaan Allah tidak melalui
teori evolusi melainkan melalui wahyu yang datang dari Allah. Hal ini berarti
konsep tauhid telah ada sejak datangnya Rasul Adam di muka bumi. Esa menurut
al-Quran adalah esa yang sebenar-benarnya esa, yang tidak berasal dari
bagian-bagiandan tidak pula dapat dibagi menjadi bagian-bagian.
Keesaan Allah adalah mutlak. Ia tidak dapat
didampingi atau disejajarkan dengan yang lain. Sebagai umat Islam, yang
mengikrarkan kalimat syahadat La ilaaha illa Allah harus menempatkan
Allah sebagai prioritas utama dalam setiap tindakan dan ucapannya.
Konsepsi kalimat La ilaaha illa Allah yang
bersumber dari al-quran memberi petunjuk bahwa manusia mempunyai kecenderungan
untuk mencari Tuhan yang lain selain Allah dan hal itu akan kelihatan dalam
sikap dan praktik menjalani kehidupan.
1. Metode Pembuktian Ilmiah
Tantangan zaman modern terhadap agama terletak
dalam masalah metode pembuktian. Metode ini mengenal hakikat melalui percobaan
dan pengamatan, sedang akidah agama berhubungan dengan alam di luar indera,
yang tidak mungkin dilakukan percobaan (agama didasarkan pada analogi dan
induksi). Hal inilah yang menyebabkan menurut metode ini agama batal, sebab
agama tidak mempunyai landasan ilmiah.
Sebenarnya sebagian ilmu modern juga batal,
sebab juga tidak mempunyai landasan ilmiah. Metode baru tidak mengingkari wujud
sesuatu, walaupun belum diuji secara empiris. Di samping itu metode ini juga
tidak menolak analogi antara sesuatu yang tidak terlihat dengan sesuatu yang
telah diamati secara empiris. Hal ini disebut dengan “analogi ilmiah” dan
dianggap sama dengan percobaan empiris.
Suatu percobaan dipandang sebagai kenyataan
ilmiah, tidak hanya karena percobaan itu dapat diamati secara langsung.
Demikian pula suatu analogi tidak dapat dianggap salah, hanya karena dia
analogi. Kemungkinan benar dan salah dari keduanya berada pada tingkat yang
sama.
Percobaan dan pengamatan bukanlah metode sains
yang pasti, karena ilmu pengetahuan tidak terbatas pada persoalan yang dapat
diamati dengan hanya penelitian secara empiris saja. Teori yang disimpulkan
dari pengamatan merupakan hal-hal yang tidak punya jalan untuk mengobservasi.
Orang yang mempelajari ilmu pengetahuan modern berpendapat bahwa kebanyakan
pandangan pengetahuan modern, hanya merupakan interpretasi terhadap pengamatan
dan pandangan tersebut belum dicoba secara empiris. Oleh karena itu banyak
sarjana percaya padanya hakikat yang tidak dapat diindera secara langsung.
Sarjana mana pun tidak mampu melangkah lebih jauh tanpa berpegang pada
kata-kata seperti: “Gaya” (force), “Energy”, “alam” (nature), dan “hukum alam”.
Padahal tidak ada seorang sarjana pun yang mengenal apa itu: “Gaya, energi,
alam, dan hukum alam”. Sarjana tersebut tidak mampu memberikan penjelasan
terhadap kata-kata tersebut secara sempurna, sama seperti ahli teologi yang
tidak mampu memberikan penjelasan tentang sifat Tuhan. Keduanya percaya sesuai
dengan bidangnya pada sebab-sebab yang tidak diketahui.
Dengan demikian tidak berarti bahwa agama
adalah “iman kepada yang ghaib” dan ilmu pengetahuan adalah percaya kepada
“pengamatan ilmiah”. Sebab, baik agama maupun ilmu pengetahuan kedua-duanya
berlandaskan pada keimanan pada yang ghaib. Hanya saja ruang lingkup agama yang
sebenarnya adalah ruang lingkup “penentuan hakikat” terakhir dan asli, sedang
ruang lingkup ilmu pengetahuan terbatas pada pembahasan ciri-ciri luar saja.
Kalau ilmu pengtahuan memasuki bidang penentuan hakikat, yang sebenarnya adalah
bidang agama, berarti ilmu pengetahuan telah menempuh jalan iman kepada yang
ghaib. Oleh sebab itu harus ditempuh bidang lain.
Para sarjana masih menganggap bahwa hipotesis
yang menafsirkan pengamatan tidak kurang nilainya dari hakikat yang diamati.
Mereka tidak dapat mengatakan: Kenyataan yang diamati adalah satu-satunya
“ilmu” dan semua hal yang berada di luar kenyataan bukan ilmu, sebab tidak
dapat diamati. Sebenarnya apa yang disebut dengan iman kepada yang ghaib oleh
orang mukmin, adalah iman kepada hakikat yang tidak dapat diamati. Hal ini
tidak berarti satu kepercayaan buta, tetapi justru merupakan interpretasi yang
terbaik terhadap kenyataan yang tidak dapat diamati oleh para sarjana.
2. Keberadaan
Alam Membuktikan Adanya Tuhan
Adanya alam serta organisasinya yang
menakjubkan dan rahasianya yang pelik, tidak boleh tidak memberikan penjelasan
bahwa ada sesuatu kekuatan yang telah menciptakannya, suatu “Akal” yang tidak
ada batasnya. Setiap manusia normal percaya bahwa dirinya “ada” dan percaya
pula bahwa alam ini “ada”. Dengan dasar itu dan dengan kepercayaan inilah
dijalani setiap bentuk kegiatan ilmiah dan kehidupan.
Jika percaya tentang eksistensi alam, maka
secara logika harus percaya tentang adanya Pencipta Alam. Pernyataan yang
mengatakan: <<Percaya adanya makhluk, tetapi menolak adanya
Khaliq>> adalah suatu pernyataan yang tidak benar. Belum pernah diketahui
adanya sesuatu yang berasal dari tidak ada tanpa diciptakan. Segala sesuatu
bagaimanapun ukurannya, pasti ada penyebabnya. Oleh karena itu bagaimana akan
percaya bahwa alam semesta yang demikian luasnya, ada dengan sendirinya tanpa
pencipta?
3. Pembuktian
Adanya Tuhan dengan Pendekatan Fisika
Sampai abad ke-19 pendapat yang mengatakan
bahwa alam menciptakan dirinya sendiri (alam bersifat azali) masih banyak
pengikutnya. Tetapi setelah ditemukan “hukum kedua termodinamika” (Second
law of Thermodynamics), pernyataan ini telah kehilangan landasan berpijak.
Hukum tersebut yang dikenal dengan hukum
keterbatasan energi atau teori pembatasan perubahan energi panas membuktikan
bahwa adanya alam tidak mungkin bersifat azali. Hukum tersebut menerangkan
bahwa energi panas selalu berpindah dari keadaan panas beralih menjadi tidak
panas. Sedang kebalikannya tidak mungkin, yakni energi panas tidak mungkin
berubah dari keadaan yang tidak panas menjadi panas. Perubahan energi panas
dikendalikan oleh keseimbangan antara “energi yang ada” dengan “energi yang
tidak ada”.
Bertitik tolak dari kenyataan bahwa proses
kerja kimia dan fisika di alam terus berlangsung, serta kehidupan tetap
berjalan. Hal itu membuktikan secara pasti bahwa alam bukan bersifat azali.
Seandainya alam ini azali, maka sejak dulu alam sudah kehilangan energinya,
sesuai dengan hukum tersebut dan tidak akan ada lagi kehidupan di alam ini.
Oleh karena itu pasti ada yang menciptakan alam yaitu Tuhan.
4. Pembuktian
Adanya Tuhan dengan Pendekatan Astronomi
Benda alam yang paling dekat dengan bumi
adalah bulan, yang jaraknya dari bumi sekitar 240.000 mil, yang bergerak mengelilingi
bumi dan menyelesaikan setiap edarannya selama dua puluh sembilan hari sekali.
Demikian pula bumi yang terletak 93.000.000.000 mil dari matahari berputar pada
porosnya dengan kecepatan seribu mil per jam dan menempuh garis edarnya
sepanjang 190.000.000 mil setiap setahun sekali. Di samping bumi terdapat gugus
sembilan planet tata surya, termasuk bumi, yang mengelilingi matahari dengan
kecepatan luar biasa.
Matahari tidak berhenti pada suatu tempat
tertentu, tetapi ia beredar bersama-sama dengan planet-planet dan asteroid
mengelilingi garis edarnya dengan kecepatan 600.000 mil per jam. Di samping itu
masih ada ribuan sistem selain “sistem tata surya” kita dan setiap sistem
mempunyai kumpulan atau galaxy sendiri-sendiri. Galaxy-galaxy tersebut juga beredar
pada garis edarnya. Galaxy dimana terletak sistem matahari kita, beredar pada
sumbunya dan menyelesaikan edarannya sekali dalam 200.000.000 tahun cahaya.
Logika manusia dengan memperhatikan sistem
yang luar biasa dan organisasi yang teliti, akan berkesimpulan bahwa mustahil
semuanya ini terjadi dengan sendirinya, bahkan akan menyimpulkan bahwa di balik
semuanya itu ada kekuatan maha besar yang membuat dan mengendalikan sistem yang
luar biasa tersebut, kekuatan maha besar tersebut adalah Tuhan.
Metode pembuktian adanya Tuhan melalui
pemahaman dan penghayatan keserasian alam tersebut oleh Ibnu Rusyd diberi
istilah “dalil ikhtira”. Di samping itu Ibnu Rusyd juga menggunakan metode lain
yaitu “dalil inayah”. Dalil ‘inayah adalah metode pembuktian adanya Tuhan
melalui pemahaman dan penghayatan manfaat alam bagi kehidupan manusia (Zakiah
Daradjat, 1996:78-80).
Kebanyakan orang menyatakan bahwa kata iman berasal dari kata kerja
amina-yu’manu-amanan yang berarti percaya. Oleh karena itu, iman yang berarti
percaya menunjuk sikap batin yang terletak dalam hati. Akibatnya, orang yang
percaya kepada Allah dan selainnya seperti yang ada dalam rukun iman, walaupun
dalam sikap kesehariannya tidak mencerminkan ketaatan dan kepatuhan (taqwa)
kepada yang telah dipercayainya, masih disebut orang yang beriman. Hal itu
disebabkan karena adanya keyakinan mereka bahwa yang tahu tentang urusan hati
manusia adalah Allah dan dengan membaca dua kalimah syahadat telah menjadi
Islam.
Dalam surah al-Baqarah ayat 165 dikatakan bahwa orang yang
beriman adalah orang yang amat sangat cinta kepada Allah (asyaddu hubban
lillah). Oleh karena itu beriman kepada Allah berarti amat sangat rindu
terhadap ajaran Allah, yaitu Al-Quran menurut Sunnah Rasul. Hal itu karena apa
yang dikehendaki Allah, menjadi kehendak orang yang beriman, sehingga dapat
menimbulkan tekad untuk mengorbankan segalanya dan kalau perlu mempertaruhkan
nyawa.
Dalam hadits diriwayatkan Ibnu Majah Atthabrani, iman didefinisikan
dengan keyakinan dalam hati, diikrarkan dengan lisan, dan diwujudkan dengan
amal perbuatan (Al-Immaanu ‘aqdun bil qalbi waigraarun billisaani wa’amalun bil
arkaan). Dengan demikian, iman merupakan kesatuan atau keselarasan antara hati,
ucapan, dan laku perbuatan, serta dapat juga dikatakan sebagai pandangan dan
sikap hidup atau gaya hidup.
Istilah iman dalam al-Qur’an selalu dirangkaikan dengan kata lain
yang memberikan corak dan warna tentang sesuatu yang diimani, seperti dalam
surat an-Nisa’:51 yang dikaitkan dengan jibti (kebatinan/idealisme) dan thaghut(realita/naturalisme).
Sedangkan dalam surat al-Ankabut: 52 dikaitkan dengan kata bathil, yaitu walladziina aamanuu bil baathili. Bhatil berarti tidak benar menurut Allah.
Dalam surat lain iman dirangkaikan dengan kata kaafir atau dengan kata Allah. Sementara
dalam al-Baqarah: 4, iman dirangkaikan dengan kata ajaran yang diturunkan Allah
(yu’minuuna bimaa unzila ilaika wamaa unzila min qablika).
Kata iman yang tidak dirangkaikan dengan kata lain dalam al-Qur’an,
mengandung arti positif. Dengan demikian, kata iman yang tidak dikaitkan dengan
kata Allah atau dengan ajarannya, dikatakan sebagai iman haq. Sedangkan yang
dikaitkan dengan selainnya, disebut iman bathil.
Akidah Islam dalam al-Qur’an disebut iman. Iman bukan hanya berarti
percaya, melainkan keyakinan yang mendorong seorang muslim untuk berbuat. Oleh
karena itu lapangan iman sangat luas, bahkan mencakup segala sesuatu yang
dilakukan seorang muslim yang disebut amal saleh.
Seseorang dinyatakan iman bukan hanya percaya terhadap sesuatu,
melainkan kepercayaan itu mendorongnya untuk mengucapkan dan melakukan sesuatu
sesuai dengan keyakinan. Karena itu iman bukan hanya dipercayai atau diucapkan,
melainkan menyatu secara utuh dalam diri seseorang yang dibuktikan dalam
perbuatannya.
Akidah Islam adalah bagian yang paling pokok dalam agama Islam. Ia
merupakan keyakinan yang menjadi dasar dari segala sesuatu tindakan atau amal.
Seseorang dipandang sebagai muslim atau bukan muslim tergantung pada akidahnya.
Apabila ia berakidah Islam, maka segala sesuatu yang dilakukannya akan bernilai
sebagai amaliah seorang muslim atau amal saleh. Apabila tidak beraqidah, maka
segala amalnya tidak memiliki arti apa-apa, kendatipun perbuatan yang dilakukan
bernilai dalam pendengaran manusia.
Akidah Islam atau iman mengikat seorang muslim, sehingga ia terikat
dengan segala aturan hukum yang datang dari Islam. Oleh karena itu menjadi
seorang muslim berarti meyakini dan melaksanakan segala sesuatu yang diatur
dalam ajaran Islam. Seluruh hidupnya didasarkan pada ajaran Islam.
Spermatozoa dan ovum yang diproduksi dan dipertemukan atas dasar
ketentuan yang digariskan ajaran Allah, merupakan benih yang baik. Allah
menginginkan agar makanan yang dimakan berasal dari rezeki yang halalanthayyiban. Pandangan
dan sikap hidup seorang ibu yang sedang hamil mempengaruhi psikis yang
dikandungnya. Ibu yang mengandung tidak lepas dari pengaruh suami, maka secara
tidak langsung pandangan dan sikap hidup suami juga berpengaruh secara
psikologis terhadap bayi yang sedang dikandung. Oleh karena jika seseorang
menginginkan anaknya kelak menjadi mukmin yang muttaqin, maka isteri
hendaknya berpandangan dan bersikap sesuai dengan yang dikehendaki Allah.
Benih iman yang dibawa sejak dalam kandungan memerlukan pemupukan yang
berkesinambungan. Benih yang unggul apabila tidak disertai pemeliharaan yang
intensif, besar kemungkinan menjadi punah. Demikian pula halnya dengan benih
iman. Berbagai pengaruh terhadap seseorang akan mengarahkan iman/kepribadian
seseorang, baik yang datang dari lingkungan keluarga, masyarakat, pendidikan,
maupun lingkungan termasuk benda-benda mati seperti cuaca, tanah, air, dan
lingkungan flora serta fauna.
Pengaruh pendidikan keluarga secara langsung maupun tidak langsung,
baik yang disengaja maupun tidak disengaja amat berpengaruh terhadap iman
seseorang. Tingkah laku orang tua dalam rumah tangga senantiasa merupakan
contoh dan teladan bagi anak-anak. Tingkah laku yang baik maupun yang buruk
akan ditiru anak-anaknya. Jangan diharapkan anak berperilaku baik, apabila
orang tuanya selalu melakukan perbuatan yang tercela. Dalam hal ini Nabi SAW
bersabda, “Setiap anak, lahir membawa fitrah. Orang tuanya yang berperan
menjadikan anak tersebut menjadi Yahudi, Nasrani, atau Majusi”.
Pada dasarnya, proses pembentukan iman juga demikian. Diawali dengan
proses perkenalan, kemudian meningkat menjadi senang atau benci. Mengenal
ajaran Allah adalah langkah awal dalam mencapai iman kepada Allah. Jika
seseorang tidak mengenal ajaran Allah, maka orang tersebut tidak mungkin
beriman kepada Allah.
Seseorang yang menghendaki anaknya menjadi mukmin kepada Allah, maka
ajaran Allah harus diperkenalkan sedini mungkin sesuai dengan kemampuan anak
itu dari tingkat verbal sampai tingkat pemahaman. Bagaimana seorang anak
menjadi mukmin, jika kepada mereka tidak diperkenalkan al-Qur’an.
Di samping proses pengenalan, proses pembiasaan juga perlu
diperhatikan, karena tanpa pembiasaan, seseorang bisa saja semula benci berubah
menjadi senang. Seorang anak harus dibiasakan untuk melaksanakan apa yang
diperintahkan Allah dan menjauhi hal-hal yang dilarang-Nya, agar kelak setelah
dewasa menjadi senang dan terampil dalam melaksanakan ajaran-ajaran Allah.
Berbuat sesuatu secara fisik adalah satu bentuk tingkah laku yang mudah
dilihat dan diukur. Tetapi tingkah laku tidak terdiri atas perbuatan yang
tampak saja. Di dalamnya tercakup juga sikap-sikap mental yang tidak selalu
mudah ditanggapi kecuali secara fisik langsung (misalnya, melalui ucapan atau
perbuatan yang diduga dapat menggambarkan sikap mental tersebut), bahkan secara
tidak langsung itu adakalanya cukup sulit menarik kesimpulan yang teliti. Di
dalam tulisan ini dipergunakan istilah tingkah laku dalam arti luas dan
dikaitkan dengan nilai-nilai hidup, yakni seperangkat nilai yang diterima oleh
manusia sebagai nilai yang penting dalam kehidupan, yaitu iman. Yang dituju
adalah tingkah laku yang merupakan perwujudan nilai-nilai hidup tertentu, yang
disebut tingkah laku terpola.
Dalam keadaan tertentu, sifat, arah, dan intensitas tingkah laku dapat
dipengaruhi melalui campur tangan secara langsung, yakni dalam bentuk
intervensi terhadap interaksi yang terjadi. Dalam hal ini dijelaskan beberap
prinsip dengan mengemukakan implikasi metodologinya, yaitu:
1. Prinsip
pembinaan berkesinambungan
Proses pembentukan iman adalah suatu proses yang penting, terus
menerus, dan tidak berkesudahan. Belajar adalah suatu proses yang memungkinkan
orang semakin lama semakin mampu bersikap selektif. Implikasinya ialah
diperlukan motivasi sejak kecil dan berlangsung seumur hidup. Oleh karena itu
penting mengarahkan proses motivasi agar membuat tingkah laku lebih terarah dan
selektif menghadapi nilai-nilai hidup yang patut diterima atau yang seharusnya
ditolak.
2. Prinsip
internalisasi dan individuasi
Suatu nilai hidup antara lain iman dapat lebih mantap terjelma dalam
bentuk tingkah laku tertentu, apabila anak didik diberi kesempatan untuk
menghayatinya melalui suatu peristiwa internalisasi (yakni usaha menerima nilai sebagai
bagian dari sikap mentalnya) dan individuasi (yakni menempatkan nilai serasi dengan
sifat kepribadiannya). Melalui pengalaman penghayatan pribadi, ia bergerak
menuju satu penjelmaan dan perwujudan nilai dalam diri manusia secara lebih
wajar dan “amaliah”, dibandingkan bilamana nilai itu langsung diperkenalkan
dalam bentuk “utuh”, yakni bilamana nilai tersebut langsung ditanamkan kepada
anak didik sebagai suatu produk akhir semata-mata. Prinsip ini menekankan
pentingnya mempelajari iman sebagai proses (internalisasi dan individuasi).
Implikasi metodologinya ialah bahwa pendekatan untuk membentuk tingkah laku
yang mewujudkan nilai-nilai iman tidak dapat hanya mengutamakan nilai-nilai itu
dalam bentuk jadi, tetapi juga harus mementingkan proses dan cara pengenalan
nilai hidup tersebut. Dari sudut anak didik, hal ini bahwa seyogianya anak
didik mendapat kesempatan sebaik-baiknya mengalami proses tersebut sebagai
peristiwa pengalaman pribadi, agar melalui pengalaman-pengalaman itu terjadi
kristalisasi nilai iman.
3. Prinsip
sosialisasi
Pada umumnya nilai-nilai hidup bru benar-benar mempunyai arti apabila
telah memperoleh dimensi sosial. Oleh karena itu suatu bentuk tingkah laku
terpola baru teruji secara tuntas bilamana sudah diterima secara sosial.
Implikasi metodologinya ialah bahwa usaha pembentukan tingkah laku mewujudkan
nilai iman hendaknya tidak diukur keberhasilannya terbatas pada tingkat
individual (yaitu hanya dengan memperhatikan kemampuan seseorang dalam
kedudukannya sebagai individu), tetapi perlu mengutamakan penilaian dalam
kaitan kehidupan interaksi sosial (proses sosialisasi) orang tersebut. Pada
tingkat akhir harus terjadi proses sosialisasi tingkah laku, sebagai
kelengkapan proses individuasi, karena nilai iman yang diwujudkan ke dalam
tingkah laku selalu mempunyai dimensi sosial.
4. Prinsip
konsistensi dan koherensi
Nilai iman lebih mudah tumbuh terakselerasi, apabila sejak semula
ditangani secara konsisten, yaitu secara tetap dan konsekuen, serta secara
koheren, yaitu tanpa mengandung pertentangan antara nilai yang satu dengan
nilai lainnya. Implikasi metodologinya adalah bahwa usaha yang dikembangkan
untuk mempercepat tumbuhnya tingkah laku yang mewujudkan nilai iman hendaknya
selalu konsisten dan koheren. Alasannya, caranya dan konsekuensinya dapat
dihayati dalam sifat dan bentuk yang jelas dan terpola serta tidak berubah-ubah
tanpa arah. Pendekatan demikian berarti bahwa setiap langkah yang terdahulu
akan mendukung serta memperkuat langkah-langkah berikutnya. Apabila pendekatan
yang konsisten dan koheren sudah tampat, maka dapat diharapkan bahwa proses
pembentukan tingkah laku dapat berlangsung lebih lancar dan lebih cepat, karena
kerangka pola tingkah laku sudah tercipta.
5. Prinsip
integrasi
Hakikat kehidupan sebagai totalitas, senantiasa menghadapkan setiap
orang pada problematika kehidupan yang menuntut pendekatan yang luas dan
menyeluruh. Jarang sekali fenomena kehidupan yang berdiri sendiri. Begitu pula
dengan setiap bentuk nilai hidup yang berdimensi sosial. Oleh karena itu
tingkah laku yang dihubungkan dengan nilai iman tidak dapat dibentuk
terpisah-pisah. Makin integral pendekatan seseorang terhadap kehidupan, makin
fungsional pula hubungan setiap bentuk tingkah laku yang berhubungan dengan
nilai iman yang dipelajari. Implikasi metodologinya ialah agar nilai iman
hendaknya dapat dipelajari seseorang tidak sebagai ilmu dan keterampilan
tingkah laku yang terpisah-pisah, tetapi melalui pendekatan yang integratif,
dalam kaitan problematik kehidupan yang nyata.
Al-Qur’an
menjelaskan tanda-tanda orang yang beriman sebagai berikut:
- Jika disebut nama Allah, maka hatinya bergetar dan berusaha agar ilmu Allah tidak lepas dari syaraf memorinya, serta jika dibacakan ayat al-Qur’an, maka bergejolak hatinya untuk segera melaksanakannya (al-Anfal: 2). Dia akan memahami ayat yang tidak dia pahami.
- Senantiasa tawakal, yaitu bekerja keras berdasarkan kerangka ilmu Allah, diiringi dengan doa, yaitu harapan untuk tetap hidup dengan ajaran Allah menurut Sunnah Rasul (Ali Imran: 120, al-Maidah: 12, al-Anfal: 2, at-Taubah: 52,Ibrahim: 11, Mujadalah: 10, dan at-Taghabun:13).
- Tertib dalam melaksanakan shalat dan selalu menjaga pelaksanaannya (al-Anfal: 3 dan al-Mu’minun: 2, 7). Bagaimanapun sibuknya, kalau sudah masuk waktu shalat, dia segera shalat untuk membina kualitas imannya.
- Menafkahkan rezki yang diterimanya (al-Anfal: 3 dan al-Mukminun:4). Hal ini dilakukan sebagai suatu kesadaran bahwa harta yang dinafkahkan di jalan Allah merupakan upaya pemerataan ekonomi, agar tidak terjadi ketimpangan antara yang kaya dengan yang miskin.
- Menghindari perkataan yang tidak bermanfaat dan menjaga kehormatan (al-Mukminun: 3,5). Perkataan yang bermanfaat atau yang baik adalah yang berstandar ilmu Allah, yaitu al-Qur’an menurut Sunnah Rasulullah.
- Memelihara amanah dan menepati janji (al-Mukminun: 6). Seorang mu’min tidak akan berkhianat dan dia akan selalu memegang amanah dan menepati janji.
- Berjihad di jalan Allah dan suka menolong (al-Anfal:74). Berjihad di jalan Allah adalah bersungguh-sungguh dalam menegakkan ajaran Allah, baik dengan harta benda yang dimiliki maupun dengan nyawa.
- Tidak meninggalkan pertemuan sebelum meminta izin (an-Nur: 62). Sikap seperti itu merupakan salah satu sikap hidup seorang mukmin, orang yang berpandangan dengan ajaran Allah menurut Sunnah Rasul.
Akidah Islam
sebagai keyakinan membentuk perilaku bahkan mempengaruhi kehidupan seorang
muslim. Abu A’la Maudadi menyebutkan tanda orang beriman sebagai berikut:
- Menjauhkan diri dari pandangan yang sempit dan picik.
- Mempunyai kepercayaan terhadap diri sendiri dan tahu harga diri
- Mempunyai sifat rendah hati dan khidmat
- Senantiasa jujur dan adil
- Tidak bersifat murung dan putus asa dalam menghadapi setiap persoalan dan situasi
- Mempunyai pendirian teguh, kesabaran, ketabahan, dan optimisme.
- Mempunyai sifat ksatria, semangat dan berani, tidak gentar menghadapi resiko, bahkan tidak takut kepada maut.
- Mempunyai sikap hidup damai dan ridha.
- Patuh, taat, dan disiplin menjalankan peraturan Ilahi.
Keimanan pada keesaan Allah yang dikenal dengan istilah tauhid dibagi
menjadi dua, yaitu tauhid
teoritis dan tauhid praktis. Tauhid
teoritis adalah tauhid yang membahas tentang keesaan Zat, keesaan Sifat, dan
keesaaan Perbuatan Tuhan. Pembahasan keesaan Zat, Sifat, dan Perbuatan Tuhan
berkaitan dengan kepercayaan, pengetahuan, persepsi, dan pemikiran atau konsep
tentang Tuhan. Konsekuensi logis tauhid teoritis adalah pengakuan yang ikhlas
bahwa Allah adalah satu-satunya Wujud Mutlak, yang menjadi sumber semua wujud.
Adapun tauhid praktis yang disebut juga tauhid ibadah, berhubungan
dengan amal ibadah manusia. Tauhid praktis merupakan terapan dari tauhid
teoritis. Kalimat Laa ilaaha illallah (Tidak ada Tuhan selain Allah) lebih
menekankan pengertian tauhid praktis (tauhid ibadah). Tauhid ibadah adalah
ketaatan hanya kepada Allah. Dengan kata lain, tidak ada yang disembah selain
Allah, atau yang berhak disembah hanyalah Allah semata dan menjadikan-Nya
tempat tumpuan hati dan tujuan segala gerak dan langkah.
Selama ini pemahaman tentang tauhid hanyalah dalam pengertian beriman
kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Mempercayai saja keesaan Zat, Sifat, dan
Perbuatan Tuhan, tanpa mengucapkan dengan lisan serta tanpa mengamalkan dengan
perbuatan, tidak dapat dikatakan seorang yang sudah bertauhid secara sempurna.
Dalam pandangan Islam, yang dimaksud dengan tauhid yang sempurna adalah tauhid
yang tercermin dalam ibadah dan dalam perbuatan praktis kehidupan manusia
sehari-hari. Dengan kata lain, harus ada kesatuan dan keharmonisan tauhid
teoritis dan tauhid praktis dalam diri dan dalam kehidupan sehari-hari secara
murni dan konsekuen.
Dalam menegakkan tauhid, seseorang harus menyatukan iman dan amal,
konsep dan pelaksanaan, fikiran dan perbuatan, serta teks dan konteks. Dengan
demikian bertauhid adalah mengesakan Tuhan dalam pengertian yakin dan percaya
kepada Allah melalui pikiran, membenarkan dalam hati, mengucapkan dengan lisan,
dan mengamalkan dengan perbuatan. Oleh karena itu seseorang baru dinyatakan beriman
dan bertakwa, apabila sudah mengucapkan kalimat tauhid dalam syahadat asyhadu allaa ilaaha illa
Alah, (Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah), kemudian diikuti
dengan mengamalkan semua perintah Allah dan meninggalkan segala larangan-Nya.
Di antara problematika dalam kehidupan modern adalah masalah
sosial-budaya yang sudah established,
sehingga sulit sekali memperbaikinya.
Berbicara tentang masalah sosial budaya berarti berbicara tentang
masalah alam pikiran dan realitas hidup masyarakat. Alam pikiran bangsa
Indonesia adalah majemuk (pluralistik), sehingga pergaulan hidupnya selalu
dipenuhi oleh konflik baik sesama orang Islam maupun orang Islam dengan
non-Islam.
Pada millenium ketiga, bangsa Indonesia dideskripsikan sebagai
masyarakat yang antara satu dengan lainnya saling bermusuhan. Hal itu
digambarkan oleh Ali Imran: 103, sebagai kehidupan yang terlibat dalam wujud
saling bermusuhan (idz kuntum a’daa’an), yaitu suatu wujud kehidupan yang
berada pada ancaman kehancuran.
Adopsi modernisme (werternisme), kendatipun tidak secara
total, yang dilakukan bangsa Indonesia selama ini, telah menempatkan bangsa
Indonesia menjadi bangsa yang semi naturalis. Di sisi lain, diadopsinya
idealisme juga telah menjadikan bangsa Indonesia menjadi pengkhayal. Adanya
tarik menarik antara kekuatan idealisme dan naturalisme menjadikan bangsa
Indonesia bersikap tidak menentu. Oleh karena itu, kehidupannya selalu
terombang-ambing oleh isme-isme tersebut.
Secara ekonomi bangsa Indonesia semakin tambah terpuruk. Hal ini karena
diadopsinya sistem kapitalisme dan melahirkan korupsi besar-besaran. Sedangkan
di bidang politik, selalu muncul konflik di antara partai dan semakin jauhnya
anggota parlemen dengan nilai-nilai qur’ani, karena pragmatis dan oportunis.
Di bidang sosial banyak muncul masalah. Berbagai tindakan kriminal
sering terjadi dan pelanggaran terhadap norma-norma bisa dilakukan oleh anggota
masyarakat. Lebih memprihatinkan lagi adalah tindakan penyalahgunaan NARKOBA
oleh anak-anak sekolah, mahasiswa, serta masyarakat. Di samping itu masih
terdapat bermacam-macam masalah yang dihadapi bangsa Indonesia dalam kehidupan
modern.
Persoalan itu muncul, karena wawasan ilmunya salah, sedang ilmu
merupakan roh yang menggerakkan dan mewarnai budaya. Hal itu menjadi tantangan
yang amat berat dan dapat menimbulkan tekanan kejiwaan, karena kalau masuk
dalam kehidupan seperti itu, maka akan melahirkan risiko yang besar.
Untuk membebaskan bangsa Indonesia dari berbagai persoalan di atas,
perlu diadakan revolusi pandangan. Dalam kaitan ini, iman dan taqwa yang dapat
berperan menyelesaikan problema dan tantangan kehidupan modern tersebut.
Pengaruh iman terhadap kehidupan manusia sangat besar. Berikut ini
dikemukakan beberapa pokok manfaat dan pengaruh iman pada kehidupan manusia.
1. Iman melenyapkan kepercayaan pada kekuasaan benda
Orang yang beriman hanya percaya pada kekuatan dan kekuasaan Allah.
Kalau Allah hendak memberikan pertolongan, maka tidak ada satu kekuatanpun yang
dapat mencegahnya. Sebaliknya, jika Allah hendak menimpakan bencana, maka tidak
ada satu kekuatanpun yang sanggup menahan dan mencegahnya. Kepercayaan dan
keyakinan demikian menghilangkan sifat mendewa-dewakan manusia yang kebetulan
sedang memegang kekuasaan, menghilangkan kepercayaan pada kesaktian benda-benda
kramat, mengikis kepercayaan pada khurat, takhyul, jampi-jampi dan sebagainya.
Pegangan orang yang beriman adalah firman Allah surat al-Fatihah ayat
1-7 .
2. Iman menanamkan semangat berani menghadapi maut
Takut menghadapi maut menyebabkan manusia menjadi pengecut. Banyak di
antara manusia yang tidak berani mengemukakan kebenaran, karena takut
menghadapi resiko. Orang yang beriman yakin sepenuhnya bahwa kematian di tangan
Allah. Pegangan orang beriman mengenai soal hidup dan mati adalah firman Allah
dalam QS 4 (al-Nisa’):78:
“Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu
kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh“
3. Iman menanamkan sikap “self help” dalam kehidupan .
Rezeki atau mata pencaharian memegang peranan penting dalam kehidupan
manusia. Banyak orang yang melepaskan pendiriannya, karena kepentingan
penghidupannya. Kadang-kadang manusia tidak segan-segan melepaskan prinsip,
menjual kehormatan, bermuka dua, menjilat, dan memperbudak diri, karena
kepentingan materi. Pegangan orang beriman dalam hal ini ialah firman Allah
dalam QS 11 (Hud):6:
“Dan tidak ada satu
binatang melatapun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia
mengetahui tempat berdiam binatang dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis
dalam kitab yang nyata. (lauh mahfud)“.
A.
Pengertian
Kata taqwa berasal dari kata waqaya yang memiliki arti takut,
menjaga diri tanggung jawab dan memenuhi tanggung jawab. Karena itu orang yang
bertaqwa adalah orang yang takut kepada Allah SWT. berdasarkan kesadaran,
mengerjakan perintah-Nya dan tidak melanggar larangan-Nya baik secara lahiriah
maupun batiniah, ia takut terjerumus ke dalam perbuatan dosa. Orang yang taqwa
adalah orang yang menjaga (membentengi) dirinya dari perbuatan jahat,
memelihara diri agar tidak melakukan perbuatan yang tidak diridhai oleh Allah
SWT., bertanggung jawab mengenai sikap tingkah laku dan perbuatannya serta
memenuhi kewajiban.
Di dalam QS. Al-Hujarat ayat 13, Allah
SWT. mengatakan bahwa : “Manusia yang paling mulia di sisi Allah adalah
orang yang paling taqwa”. Dalam surat lain, taqwa dipergunakan sebagai dasar
persamaan hak antara pria dan wanita (suami dan isteri) dalam keluarga, karena
pria dan wanita diciptakan dari jenis yang sama (QS. An-Nisa ayat 1). Sedangkan
dalam QS. Al-Baqarah ayat 117 makna taqwa terhimpun dalam pokok-pokok
kebajikan.
Berdasarkan beberapa ayat Alqur’an,
ada beberapa ciri orang bertaqwa, diantaranya :
1.
Beriman dan
meyakini tanpa keraguan bahwa Alqur’an sebagai pedoman hidupnya;
2. Beriman kepada perkara-perkara yang
gaib;
6. Orang yang bisa menahan amarahnya,
dan mudah memberi maaf;
7. Mensyukuri nikmat Allah yang telah
diterimanya, karena Allah
mengasihani orang-orang yang selalu berbuat kebaikan;
8. Takut melanggar perintah Allah;
9.
Oleh karena
itu, tempat mereka adalah surga sesuai dengan yang dijanjikan Allah, dan
tempatnya tidak jauh dari mereka.
Taqwa
menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi, sebagaimana dikemukakan dari
sejumlah ayat-ayat Alqur’an di atas, memiliki makna dan implikasi kemanusiaan
yang sangat luas. Nilai-nilai kemanusiaan sebagai akibat ketaqwaan itu
diantaranya :
1. Berilmu; dalam Alqur’an pada
prinsipnya taqwa berarti mentaati segala perintah Allah dan
menjauhi segala laranganNya. Setiap perintah Allah adalah ’kebaikan’ untuk
dirinya; sebaliknya setiap larangan Allah apabila tetap dilanggar maka
’keburukan’ akan menimpa dirinya. Maka, dalam konteks ini, taqwa menjadi
ukuran baik tidaknya seseorang, dan seseorang bisa mengetahui ”baik” dan ”tidak
baik” itu memerlukan pengetahuan (ilmu).
2. Kepatuhan dan disiplin; taqwa menjadi
indikator beriman tidaknya seseorang kepada Allah. Sebab, setiap ”perintah” dan
”larangan” dalam Alqur’an selalu dalam konteks keimanan kepada Allah. Oleh
karena itu, secara sederhana, setiap orang yang mengamalkan taqwa kepada
Allah pasti ia beriman; tapi, tidak setiap orang beriman bisa menjalani proses
ketaqwaannya, yang diantaranya disebabkan oleh faktor ”ketidaktahuan” dan
”pembangkangan”. Maka, iman, islam, dan taqwa dalam beberapa ayat selalu
disebut sekaligus, untuk menunjukkan integralitas dan mempribadi dalam diri
seseorang.
3. Sikap hidup dinamis; taqwa pada
dasarnya merupakan suatu proses dalam menjaga dan memelihara ”hubungan baik”
dengan Allah, sesama manusia, dan alam. Karena berhadapan dengan situasi yang
berkembang dan berubah-ubah, maka dari proses ini manusia taqwa membentuk suatu
cara dan sikap hidup. ”Cara” dan ”sikaphidup” yang sudah dibentuk ini, secara
antropologis-sosiologis menghasilkan etika, norma dan sistem kemasyarakatan (
kebudayaan).
4. Kejujuran, keadilan, dan kesabaran;
tga hal ini merupakan bagian yang ditonjolkan dalam ayat-ayat taqwa. Kejujuran,
keadilan, dan kesabaranmerupakan dasar-dasar kemanusiaan universal. Dalam
konteks ini, kesabaran dipahami sebagai keharmonisan dan keteguhan diri dalam menghadapi
segala cobaan hidup.
Empat poin
di atas, merupakan prinsip-prinsip dasar kemanusiaan yang terrdapat dalam
nilai-nilai taqwa. Dengan demikian, taqwa merupakan dasar-dasar kemanusiaan
universal yang nilai-nilainya tidak mutlak dimiliki oleh Muslim, tetapi oleh
seluruh manusia yang berada pada jalur atau fitrah kemanusiaannya.
Karena memiliki nilai-nilai kemanusiaan universal, maka taqwa bisa berimplikasi
kepada seluruh sektor dan kepentingan hidup manusia.
Ruang lingkup
taqwa dalam makna memelihara meliputi empat jalur hubungan manusia, yaitu :
I.
Hubungan Manusia dengan Allah SWT.
Ketaqwaan atau
pemeliharaan hubungan dengan Allah SWT. dapat dilakukan dengan cara :
1. Beriman kepada Allah SWT. menurut cara-cara yang diajarkannya melalui wahyu
yang disengaja diturunkannya untuk menjadi petunjuk dan pedoman hidup manusia.
2. Beribadah kepada Allah SWT. dengan jalan melaksanakan sholat lima waktu
dalam sehari, menunaikan zakat apabila telah mencapai syarat nisab dan haulnya,
berpuasa pada bulan suci ramadhan, dan melakukan ibadah haji seumur hidup
sekali dengan cara-cara yang telah ditentukan.
3. Mensyukuri nikmat-Nya dengan jalan menerima, mengurus dan memanfaatkan
semua karunia dan pemberian Allah kepada manusia.
4. Bersabar menerima cobaan dari Allah dalam pengertian tabah, tidak putus asa
ketika mendapat musibah.
5. Memohon ampun atas segala dosa dan kesalahan serta bertaubat dalam arti
sadar untuk tidak lagi melakukan segala perbuatan jahat atau tercela.
II.
Hubungan Manusia dengan Dirinya Sendiri
Hubungan manusia
dengan dirinya sendiri sebagai dimensi taqwa yang kedua dapat dipelihara dengan
jalan menghayati benar patokan-patokan akhlak yang telah disebutkan oleh Allah
SWT. di dalam Al-Qur’an, begitu pula pedoman yang telah disampaikan oleh Rasul-Nya
melalui As-Sunnah (Al-Hadits) sebagai teladan bagi umatnya. Secara singkat
berikut dikemukakan beberapa contoh :
1. Sabar (QS. Al-Baqarah ayat 153)
2. Ikhlas (QS. Al-Bayyinah ayat 5)
3. Berkata benar (QS. Al-Kahfi ayat 29)
4. Berlaku adil (QS. An-Nisa ayat 135)
5. Tidak menganiaya diri (QS. Al-Baqarah ayat 195)
6. Berlaku benar dan jujur (QS. At-Taubah ayat 119)
7. Menjaga diri (QS. At-Tahrim ayat 6)
8. Pemaaf (QS. Ali Imran ayat 134)
III.
Hubungan Manusia dengan Sesama Manusia
Sebagai makhluk
sosial, manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa bantuan dan pertolongan manusia
lain. Karena ternyata manusia yang mengaku pintar ini tidak dapat dan tidak
mampu mencukupi kebutuhan diri sendiri tanpa bantuan orang atau pihak lain.
Oleh sebab itu manusia sebagaimana diajarkan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah agar
menjaga dan memelihara hubungan baik antar sesamanya. Hubungan manusia dengan
sesamanya dalam masyarakat dapat dibina dan dipelihara melalui :
1. Tolong menolong dan bantu membantu dalam kebaikan dan tidak
mengembangkan perbuatan dosa dan menyebarkan permusuhan (QS. Al-Maidah ayat 2)
2. Suka memaafkan kesalahan orang lain (QS. Ali Imran ayat 134)
3. Menepati janji (QS. Al-Maidah ayat 1)
4. Toleransi dan lapang dada (QS. Ali Imran ayat 159)
5. Menegakkan keadilan dengan berlaku adil terhadap diri sendiri dan orang
lain (QS.An-Nisa 135)
6. Tidak menyombongkan diri/angkuh dalam pergaulan (QS. Luqman ayat 18)
7. Berlaku sederhana dan lemah lembut dalam pergaulan (QS.Luqman ayat 19)
IV.
Hubungan Manusia dengan Lingkungan Hidup
Di lihat secara
umum mengenai pelaksanaan taqwa bila digambarkan oleh kewajiban terhadap
lingkungan hidup adalah :
1. Kewajiban terhadap lingkungan hidup dapat disimpulkan dari pernyataan Allah
dalam Al-Qur’an yang menggambarkan kerusakan yang telah terjadi di daratan dan
di lautan, karena ulah tangan-tangan manusia, yang tidak mensyukuri karunia
Allah. Untuk mencegah derita yang dirasakan oleh manusia, manusia wajib
memelihara dan melestarikan lingkungan hidupnya. Memelihara dan melestarikan
alam lingkungan hidup berarti pula memelihara kelangsungan hidup manusia
sendiri dan keturunannya di kemudian hari.
2. Kewajiban orang yang taqwa terhadap harta yang dititipkan atau diamanatkan
oleh Allah SWT. padanya. Menurut ketentuan Allah SWT. dan Sunnah Nabi Muhammad SAW
yang kini terekam dalam kitab-kitab hadits, hubungan manusia dengan hartanya
dapat di lihat dari tiga sisi, yaitu:
a. Cara memperolehnya,
b. Fungsi dari harta,
c. Cara memanfaatkan atau membelanjakannya.
Demikian yang dapat kami
paparkan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan dalam makalah ini, tentunya
masih banyak kekurangan dan kelemahannya, kerena terbatasnya pengetahuan dan
kurangnya rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah ini.
Penulis banyak berharap
para pembaca yang budiman sudi memberikan kritik dan
saran yang membangun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan dan
penulisan makalah di kesempatan – kesempatan berikutnya.
Semoga makalah ini berguna
bagi penulis pada khususnya juga para pembaca yang budiman pada umumnya.
http://www.scribd.com/document_downloads/direct/56214739?extension=pdf&ft=1320233984<=1320237594&uahk=mnMhTzeqgaWZhVN+JURE6sNk8sE
Tidak ada komentar:
Posting Komentar